Monas Management

Monas Management
Segera Bergabung, Insya Allah kita Sukses Bersama ^_^

SEMANGAT !!!

Jumat, 26 Maret 2010

dijual mobil...

DIJUAL MOBIL HONDA CIVIC 1500 TAHUN 1977 WARNA HIJAU
DENGAN HARGA RP. 10.000.000,-
_harga bisa nego_
jika berminat hub wan ida : (021) 8483423

DIJUAL DIJUAL DIJUAL ....

KABAR GEMBIRA... diJUAL RUMAH SEHARGA 1,3 Mtanah 1040 m2 bersertifikat... dengan 9 rumah kontrakan didalamnya... dengan hanya 1,3 M,, insya Allah sudah bisa dipastikan anda mendapatkan 40jt setiap tahun'a...karena didalamnya adalah sudah dihuni (9 rmh kontrakan).. dengan posisi yang strategis dan cukup dekat dari jalan... raya... apabila berminat segera hubungi wan ida : (021) 8483423
bisa juga anda yang memasarkan,, insyaAllah mendapatkan komisi sesuai dgn kesepakatan...

Rabu, 17 Maret 2010

MONAS PIN

Assalamu'alaikum..wr.wb...
temen2...kabar gembira....monas Pin dengan harga yg bersaing,, design yg menarik (bisa didesign dr monas / dr anda) ,, n pengantaran pin sampai tempat tujuan...
untuk grosir pemesanan >50 pin...
ukuran:
3,2 cm : Rp. 1.800,-
4,4cm : Rp. 2.500,-
5,8cm : Rp. 3.500,-
untuk harga satuan dikali 2..
jika berminat langsung hubungi Nur : 08989729022
_anda puas,, kami senang..._makasih ^_^

KABAR GEMBIRA...

assalamu'alaikum...
DIJUAL jas hujan akhwat ( jas + rok ) dengan pilihan warna hijau tosca, biru muda, ungu muda, hijau tua, pink...harga 60rb...berminat?????? hub Nur : 08989729022

DIJUAL Printer HP dengan harga Rp. 150.000,- dijual butuh, cepat....
jika berminat hub ade zun : 08988212774

temen2...kabar gembira....monas Pin dengan harga yg bersaing,, design yg menarik (bisa didesign dr monas / dr anda) ,, n pengantaran pin sampai tempat tujuan...
untuk grosir pemesanan >50 pin...
ukuran:
3,2 cm : Rp. 1.800,-
4,4cm : Rp. 2.500,-
5,8cm : Rp. 3.500,-
untuk harga satuan dikali 2..
jika berminat langsung hubungi Nur : 08989729022
_anda puas,, kami senang..._makasih ^_^

Senin, 15 Maret 2010

Baju Koko...

JENIS BAJU KOKO HARGA

Kamis, 11 Maret 2010

SOLUSI ISLAM UNTUK MENGATASI KRISIS EKONOMI GLOBAL

Oleh : Ir. H. Budi Suherdiman Januardi, MM.


Islam sebagai satu-satunya ad-dien yang Alloh Swt ridloi dan pilih bagi umat manusia sejak era Nabi Adam As dan disempurnakan para era kerasulan Muhammad Saw dimaksudkan untuk meregulasi tatanan kehidupan manusia agar selamat baik di dunia maupun akhirat. Sebagai sebuah sistem, dienul-Islam yang mencakup aqidah, akhlaq dan syari’at merupakan undang-undang ilahiyah berisi berbagai aturan kehidupan.

Diantara keagungan sistem Islam adalah sistem perekonomian yang sering kita sebut dengan ekonomi syari’ah. Jika instrumen ekonomi syari’ah diimplementasikan, maka beberapa masalah krusial perekonomian bisa diantisipasi sehingga tidak menimbulkan krisis ekonomi maupun finansial sebagaimana yang saat ini tengah terjadi.

Beberapa instrumen ekonomi Islam diantaranya adalah zakat serta sistem mata uang dinar dan dirham yang telah terbukti mampu mengatasi berbagai gejolak perekonomian maupun finansial, sebagaimana telah dibuktikan dalam sejarah masa kejayaan Islam ketika institusi kepemimpinan Islam (khilafah) masih berdiri.

ZAKAT

Zakat sebagai salah satu pilar (rukun) Islam merupakan instrumen strategis dari sistem perekonomian Islam yang dapat memberikan kontribusi besar terhadap penanganan problem kemiskinan serta problem sosial lainnya, karena zakat dalam pandangan Islam merupakan “hak fakir miskin yang tersimpan dalam kekayaan orang kaya’.

Sebagai sebuah kewajiban, maka zakat merupakan kewajiban minimal dari harta seorang muslim, yang menurut DR. Didin Hafidhuddin “zakat adalah batas kekikiran seorang muslim”.

Menurut DR. Yusuf Al-Qardhawi, zakat merupakan suatu sistem yang belum pernah ada pada agama selain Islam juga dalam peraturan-peraturan manusia. Zakat mencakup sistem keuangan, ekonomi, sosial, politik, moral dan agama sekaligus. Zakat adalah sistem keuangan dan ekonomi karena ia merupakan pajak harta yang ditentukan. Sebagai sistem sosial karena berusaha menyelamatkan masyarakat dari berbegai kelemahan. Sebagai sistem politik karena pada asalnya negaralah yang mengelola pemungutan dan pembagiannya. Sebagai sistem moral karena ia bertujuan membersihkan jiwa dari kekikiran orang kaya sekaligus jiwa hasud dan dengki orang yang tidak punya. Sebagai sistem keagamaan karena menunaikannya adalah salah satu tonggak keimanan dan ibadah tertinggi dalam mendekatkan diri kepada Alloh Swt.

Zakat tidak hanya difahami secara sempit yang hanya ditunaikan setahun sekali pada momentum bulan Ramadlan melalui pembayaran zakat fitrah, akan tetapi ruang lingkup zakat sangatlah luas. Selain zakat fitrah, seorang muslim yang telah masuk pada kategori ‘muzzaki’ yang kekayaannya telah mencapai ‘nishab’ (jumlah minimal yang harus dipenuhi sebelum mengeluarkan zakat yaitu senilai 85 gram emas) dan harus dibayarkan setiap tahun, juga wajib menunaikan zakat maal (zakat kekayaan) yang menurut DR. Yusuf Al-Qardhawi meliputi: Zakat binatang ternak; Zakat emas dan perak/zakat uang; Zakat kekayaan dagang; Zakat pertanian; Zakat madu dan produksi hewani; Zakat barang tambang dan hasil laut; Zakat investasi pabrik, gedung, dll; Zakat pencarian dan profesi; serta Zakat saham dan obligasi.

Secara teknis, pemungutan dan pendistribusian zakat akan sangat efektif jika dilakukan oleh sebuah lembaga yang mempunyai otorisasi serta kekuatan memaksa dalam sebuah pemerintahan. Bagian dari institusi pemerintah yang berkompeten melakukan pemungutan zakat yaitu Badan Amil Zakat. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan Alloh Swt dalam firman-Nya dalam Surat At-Taubah (9) ayat 103:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Sejarah mencatat, bahwa persoalan kesejahteraan masyarakat merupakan fokus utama kepedulian dari para pemimpin Islam. Betapa besarnya kepedulian para pemimpin Islam terhadap persoalan tersebut diantaranya diperlihatkan oleh sikap tegas Abu Bakr Shiddiq ra sebagaimana terlihat dari komitmennya melalui pidato sesaat setelah pengukuhan sebagai Khalifah pertama sepeninggal Rasulullah Muhammad Saw, dimana beliau mengatakan:
“.......yang terlemah diantara kamu aku anggap terkuat sampai aku mengambil dan memulangkan haknya, yang terkuat diantara kamu aku anggap terlemah sampai aku mengembalikan hak si lemah dari tangannya....…”.
Komitmen serta sikap tegas Abu Bakr Shiddiq ra tersebut kemudian terlihat melalui implementasi salah satu programnya dalam penanganan zakat, dan beliau mengambil sikap tegas terhadap para pihak dari kalangan muslim yang masih enggan menunaikan kewajiban zakat. Secara konsisten kebijakan tersebut kemudian diteruskan secara estapeta oleh para khalifah sesudahnya.

Dalam implementasi sistem pemerintahan Islam, pengelolaan zakat ternyata tidak hanya mampu meminimalisir angka kemiskinan, bahkan sampai mampu mengeliminir tingkat kemiskinan dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan. Karena dengan zakat, status sosial warga negara yang semula merupakan pihak yang berhak menerima zakat (mustahik), berubah status menjadi pihak yang berkewajiban menunaikan zakat (muzzaki), dimana warga negara bersangkutan telah bergeser dari miskin menjadi kaya.

Sejarah monumental masa kepemimpinan Islam zaman kekhilafahan Daulat Umayyah yaitu saat Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) memimpin-yang walaupun singkat, selama 2,5 tahun (30 bulan) telah membuktikan bahwa kesejahteraan masyarakat secara merata benar-benar terwujud.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam buku “Umar bin Abdul Aziz Perombak Wajah Pemerintahan Islam”, tulisan Imaduddin Kholil yang diterbitkan oleh Pustaka Mantiq, Solo (1992) pada halaman 142-144:
“Pada masanya keamanan dirasakan oleh setiap penduduk dimanapun mereka berada di wilayah kedaulatan Islamiyah. Hampir semua warga negara menjadi kaya. Saat itu tidak lagi ditemukan fakir miskin yang berhak menerima zakat dan shadaqah. Keadaan ini membuat para orang kaya kesulitan untuk memecahkan persoalan, kewajiban yang harus ditunaikan. Kesejahteraan yang merata dapat dicerminkan lewat ucapan Yahya bin Said, amil zakat dari Khalifah untuk daerah Afrika, beliau berkata: ‘Aku diutus Khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk mengelola zakat di Afrika. Setelah terkumpul semua, aku kebingungan mencari siapa yang harus kuberi. Di sana tiada seorangpun yang fakir dan yang mau menerima pemberian pembagian zakat. Itu disebabkan Umar telah membuat kaya penduduknya. Dan akhirnya zakat itupun kupakai untuk menebus para budak, membebaskan mereka dan menggabungkannya dengan para muslimin yang lain’.

Problem kemiskinan yang semakin hari semakin tak terkendali, sesungguhnya terletak pada besarnya ketimpangan (disparitas) kekayaan antara yang kaya dan miskin. Dalam pengimplementasian zakat, persoalan pendistribusiannya yang tepat sasaran sesuai dengan para fihak yang berhak menerimanya sesuai dengan yang telah ditetapkan Al Quran akan dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap upaya mendokrak tingkat kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat yang masih terbelit dengan belenggu kemiskinan harta.

Dalam pandangan Islam, sasaran zakat merupakan hal sangat penting, sehingga terdapat hadits yang menjelaskan bahwa untuk menentukan sasaran zakat seakan-akan Alloh tidak rela bila Rasulullah Saw sendiri yang menetapkannya, sehingga Alloh Swt menurunkan ayat ke-60 dalam Al-Quran Surat At-Taubah, dimana disebutkan 8 sasaran (asnaf) untuk pendistribusian zakat yaitu:
(1) Orang fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya;
(2) Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.
Berdasarkan Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, "Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling minta-minta agar diberi sesuap atau dua suap nasi, satu atau dua biji kurma, tapi orang miskin itu ialah mereka yang hidupnya tidak berkecukupan kemudian diberi sedekah, dan merekapun tidak pergi meminta-minta pada orang".
Berkenaan dengan golongan fakir dan miskin, DR. Yusuf Al-Qardhawi menjelaskan beberapa hal:

* Fakir miskin hendaklah diberikan harta zakat yang mencukupi kebutuhannya sampai dia bisa menghilangkan kefakirannya. Bagi yang mampu bekerja hendaknya diberikan peralatan dan lapangan pekerjaan. Sedangkan bagi yang tidak mampu lagi bekerja (orang jompo, cacat fisik), hendaknya disantuni seumur hidupnya dari harta zakat;
* Dengan demikian jelas bahwa tujuan zakat bukanlah memberi orang miskin satu atau dua dirham, tapi dimaksudkan untuk memberikan tingkat hidup yang layak. Layak sebagai manusia yang didudukan Alloh Swt sebagai khalifah di muka bumi, dan layak sebagai muslim yang telah masuk ke dalam agama keadilan dan kebaikan, yang telah masuk ke dalam ummat pilihan dari kalangan manusia;
* Tingkat hidup minimal bagi seseorang ialah dapat memenuhi makan dan minum yang layak untuk diri dan keluarganya, demikian pula pakaian untuk musim dingin dan musim panas, juga mencakup tempat tinggal dan keperluan-keperluan pokok lainnya baik untuk diri dan tanggungannya.

(3) Pengurus zakat (Amil zakat): adalah mereka yang melaksanakan segala kegiatan urusan zakat, dimana Alloh Swt menyediakan upah bagi mereka dari harta zakat sebagai imbalan. Dimasukkannya amil sebagai ashnaf menunjukkan bahwa zakat dalam Islam bukanlah suatu tugas yang hanya diberikan kepada seseorang secara individu, tapi merupakan tugas jama’ah bahkan menjadi tugas negara.
(4) Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah.
(5) Memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir.
(6) Orang yang berhutang (gharimin): yaitu orang yang berhutang untuk kemaslahatan sendiri (seperti untuk nafkah keluarga, sakit, mendirikan rumah dsb). Termasuk didalamnya orang yang terkena bencana sehingga hartanya musnah. Juga orang yang berhutang untuk kemaslahatan orang lain, seperti untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya.
(7) Untuk kepentingan sabilillah (pada jalan Allah): yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Diantara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain.
(8) Orang yang sedang dalam perjalanan (ibnu sabil) yang perjalannya tidak dimaksudkan untuk maksiat dan dia mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
Pengimplementasian zakat yang profesional, transparan dan akuntabel akan berimplikasi terhadap lancarnya perputaran perekonomian, karena dengan memobilisasi potensi dana umat dari zakat tersebut harta tidak lagi hanya berputar di kalangan para pihak yang memiliki kekayaan saja, akan tetapi terdistribusi secara adil. Pendistribusian zakat secara tepat sasaran juga dapat memberikan akses produktif bagi orang-orang miskin.

Pada sisi ini kita dapat melihat bahwa betapa indahnya ajaran Islam yang sangat peduli terhadap persoalan sosial kemasyarakatan.



SISTEM MATA UANG DINAR DAN DIRHAM

Instrumen kedua yang sangat strategis dalam perekonomian Islam adalah sistem mata uang dinar dan dirham. Hal ini mengingat bahwa sistem moneter dalam Islam adalah berbasis emas dan perak. Diterapkannya sistem perdagangan dengan menggunakan emas dan perak dalam mata uang dinar (Gold dinar) dan dirham dalam kekhilafahan Islam telah membuktikan terkendalinya angka inflasi.

Inflasi sesungguhnya merupakan suatu kemudlaratan ekonomi yang sejatinya harus ditekan, karena dengan terjadinya inflasi berarti telah terjadi sebuah fenomena yang signifikan terhadap meningkatnya kemiskinan masyarakat. Dengan demikian, maka penerapan sistem mata uang dinar dan dirham secara luas, akan ikut mengurangi tingkat inflasi yang selama ini terus membayangi sistem perekonomian berbagai negara akibat penerapan sistem ekonomi konvensional (kapitalisme) yang menggunakan uang kertas (fiat money) yang tak terkendali. Sehingga berkurangnya angka inflasi sebagai dampak positif dari diterapkannya gold dinar, sesungguhnya merupakan upaya menghilangkan belenggu kemiskinan masyarakat.

Dengan demikian, maka jika stabilitas perekonomian suatu negara ingin terwujud, solusi jitunya adalah dengan “bergantinya penggunaan sistem keuangan dari uang kertas ke uang emas”. Kita yakin bahwa sejalan dengan akan kembalinya kejayaan Islam dan umatnya untuk kali ke dua, penerapan kembali dinar dan dirham juga merupakan suatu keniscayaan, karena penerapan dinar akan menciptakan kemashlahatan dan keadilan ekonomi.

Jika kita simak, ternyata dengan diterapkannya mata uang dinar dan dirham akan didapatkan beberapa keunggulan, baik secara mikro maupun makro ekonomi, diantaranya:

* Gold dinar memiliki stabilitas tinggi yang nilainya tidak fluktuatif sehingga jika dikomparasi dengan mata uang lainnya tidak akan terdepresiasi bahkan terus terapresiasi. Sejarah telah membuktikan bahwa pada zaman Nabi Muhammad Saw, harga seekor ayam harganya satu dirham, dimana dengan uang yang sama (satu dirham saat ini setara dengan tiga gram perak), seekor ayam masih bisa kita dibeli. Hal ini membuktikan bahwa emas (dinar) dan perak (dirham) merupakan extra ordinary currency (anti inflasi). Sehingga pada masa kerasulan Muhammad Saw yang dilanjutkan oleh Khulafaur-Rasyidin dan para Khalifah sesudahnya dalam pengelolaan pemerintahannya sangat jarang terjadi resesi ekonomi.
* Gold dinar merupakan mata uang yang berbasis komoditi (commodity money), karena adanya keseimbangan antara nilai instrinsik dengan nilai nominal yang terdapat pada gold dinar. Bahkan nilai instrinsik dari gold dinar merupakan garansi dan perlindungan jika terjadinya situasi eksternal yang tidak diinginkan.
* Penerapan dinar dan dirham akan terhindarkan dari upaya menjadikan uang sebagai komoditas. Krisis ekonomi global saat ini diantaranya terjadi karena tidak difungsikannya secara penuh uang sebagaimana mestinya sebagai alat tukar, akan tetapi telah bergeser menjadi komoditas yang diperjualbelikan sehingga sangat menguntungkan bagi para spekulan pada berbagai transaksi maya di pasar uang. Kondisi tersebut akan menguntungkan bagi para pihak yang memiliki dana banyak untuk mengendalikan pasar uang, sehingga terjadilah ketergantungan suatu negara yang labil dalam hal politik maupun ekonominya terhadap negara yang memiliki power. Secara politis, penerapan gold dinar dalam sistem keuangan suatu negara akan memandirikan suatu negara, sehingga tidak lagi tergantung pada dominasi negara luar. Karena penerapan sistem ekonomi dengan menggunakan keuangan gold dinar, berarti menerapkan sistem ekonomi berbasis keadilan (fairness), yang mana faktor keadilan ini tidak dimiliki oleh sistem manapun selain sistem Islam.
* Tidak seperti halnya mata uang kertas yang sangat mudah untuk dipalsukan, maka penggunaan gold dinar dapat menghilangkan upaya pemalsuan uang dari pihak-pihak tertentu.

Tidak terjadinya jurang pemisah yang sangat lebar antara si kaya dan si miskin dengan terdistribusinya pendapatan melalui pengelolaan zakat yang tepat sasaran serta diberlakukannya mata uang dinar dan dirham akan menjadikan sebuah keseimbangan antara sektor finansial dengan sektor riil, karena jumlah uang yang beredar sama banyaknya dengan nilai barang dan jasa dalam perekonomian, sehingga perkembangan sektor keuangan tidak akan berjalan sendiri, tanpa terkait dengan sektor ril. Hal ini akan berimplikasi terhadap pertumbuhan ekonomi sekaligus terciptanya stabilitas ekonomi masyarakat.

Dalam ekonomi Islam, sektor finansial selalu mengikuti pertumbuhan sektor ril. Inilah perbedaan konsep ekonomi dalam Islam dengan konsep ekonomi konvensional yang kapitalistik, dimana dalam ekonomi kapital, pemisahan antara sektor finansial dengan sektor ril merupakan keniscayaan. Implikasi dari adanya pemisahan itu, maka ekonomi dunia sangat rawan terhadap gonjang-ganjing krisis. Hal ini disebabkan pelaku ekonomi menggunakan uang tidak untuk kepentingan sektor ril, tetapi untuk kepentingan spekulasi mata uang semata. Akibat adanya spekulasi tersebut, maka jumlah uang yang beredar sangat tidak seimbang dengan jumlah barang pada sektor ril.

Dengan diterapkannya sistem ekonomi syari’ah, maka kita akan terhindar dari gharar (spekulasi); maisyir maupun riba, sehingga keberkahan Alloh Swt akan dirasakan bersama, sebagaimana yang Alloh Swt ingatkan dalam Al Quran Surat Al A’raf ayat 96:

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”.

Dalam menghadapi berbagai malapetaka (fitnah) sekarang ini, terutama menghadapi krisis ekonomi global yang konstelasinya cenderung terus memburuk, beberapa peringatan dari lisan seorang yang suci, Muhammad Saw kiranya perlu kita renungkan bersama:

Peringatan Pertama : Hadits Riwayat Ibnu Majah; Al-Bazar; Al-Hakim; Al-Baihaqi dan Abu Nu’aim : “Wahai kaum muhajirin, ada lima hal yang aku berlindung kepada Alloh agar kalian tidak mengalaminya:

* Tidaklah perbuatan keji (zina) nampak pada suatu kaum hingga mereka terang-terangan melakukannya, melainkan mereka akan ditimpa berbagai macam wabah penyakit (tha’un) dan kelaparan yang belum pernah menimpa orang-orang sebelum mereka;
* Tidaklah suatu kaum yang mengurangi takaran dan timbangan, melainkan mereka akan ditimpa ‘as-sinin’ (paceklik, kemarau panjang), sulitnya mendapatkan makanan, dan jahatnya (sikap zhalim) penguasa terhadap mereka;
* Tidaklah suatu kaum enggan mengeluarkan zakat dari harta mereka, melainkan akan terhalang hujan dari langit, kalau saja bukan karena binatang, niscaya tidak diturunkan hujan atas mereka;
* Tidaklah suatu kaum melanggar janji Alloh dan Rasul-Nya, melainkan Alloh menjadikan mereka dikuasai musuh-musuh yang bukan dari golongan mereka, kemudian musuh mereka itu akan mengambil harta yang mereka miliki;
* Dan selama pemimpin-pemimpin mereka tidak menerapkan hukum Alloh dan memilih-milih apa yang Alloh turunkan didalam kitab-Nya, niscaya Alloh akan menjadikan al-ba’s (bala bencana, kekerasan dan keributan) terjadi di tengah-tengah mereka”.

Peringatan Kedua : Hadits Riwayat Ibnu Najar (Dalam Kitab ‘Muntakhob Kanzu’l-Ummal):
“Tidaklah Alloh murka terhadap suatu umat, kecuali akan dinaikkannya harga-harga, hancurnya pasar (dimana angka inflasi tinggi sedangkan daya beli masyarakat rendah) serta akan lebih banyak berbagai bentuk kemungkaran, dan semakin hebatnya penyelewengan-penyelewengan di bidang hukum yang dilakukan oleh para penguasa. Maka sebagai akibat dari kondisi seperti itu orang-orang kaya tidak lagi menunaikan kewajiban berzakat; para penguasa tidak lagi memiliki harga diri (karena hilangnya rasa malu) serta orang-orang fakir (miskin) tidak lagi melaksanakan kewajiban shalat”.

Oleh karena itu, tiada jalan lain untuk dapat keluar dari berbagai persoalan hidup termasuk krisis ekonomi global sekarang ini yaitu dengan kembali pada penerapan sistem Islam dalam berbagai lapangan kehidupan. Tiada lagi yang diagungkan kecuali hanya Alloh Swt yang dengan kegagahan-Nya berada di atas ketinggian, di atas Arsy-Nya yang agung. Dia-lah yang mengetahui berbagai kelemahan dan persoalan hamba-Nya. Dengan kasih sayang-Nya, Alloh Swt telah memilih Islam sebagai satu-satunya sistem kehidupan untuk menuntun manusia agar terselamatkan.

Mengakhiri tulisan ini, sebuah ungkapan dari Umar bin Kaththab ra kiranya perlu kita simak bersama, dimana beliau pernah berujar: “Dahulu kami adalah kaum yang paling hina, lalu kami dimuliakan Alloh dengan Islam. Andaikan kami mencari kemuliaan dengan selain apa yang Alloh muliakan, tentu Alloh akan menghinakan kami”.


Wallohu a'lam

Rabu, 10 Maret 2010

Rahasia Memulai Bisnis Tanpa Modal

Menjadi pertanyaan, mungkinkah memulai bisnis tanpa modal? Mungkin saja! Anda hanya perlu rahasianya. Sudah banyak orang sukses berbisnis tanpa modal berupa cash money yang besar. Sebut saja Purdi E. Chandra dengan jaringan Primagamanya. Purdi hanya mengandalkan kemampuan melobinya, sekaligus kecerdikan untuk memulai usaha. Anda pun bisa melakukannya!

Rahasia #1: Lakukan bisnis jasa

Saat mencari ide usaha, Anda dapat memilih: menjual barang atau jasa. Menjual barang memerlukan banyak modal. Anda perlu membeli barang lebih dulu dan kemudian dijual kembali. Contohnya pada bisnis ritel, membuat toko kelontong, grosiran sembako. Atau memproduksi barang dulu baru lalu menjualnya, seperti usaha roti, konveksi garmen. Belum lagi kalau barang tidak laku. Berapa modal yang tak kembali? Berbeda dengan bisnis jasa. Anda benar-benar bisa memulai dari modal dengkul. Bisnis ini tidak membuat Anda mengeluarkan banyak biaya! Contohnya Purdi, dengan memulai bisnis bimbingan belajar. Bermula dari 2 siswa dan menempati salah satu ruang rumah kontrakannya, siapa mengira kalau bisnis ini bisa berkembang menggurita.

Rahasia #2: Hemat Biaya

Anda tidak ingin menghabiskan banyak uang, bukan? Karena itu, jaga agar pengeluaran Anda sedikit. Cara terbaik untuk menjaga overhead tetap rendah adalah memulai bisnis dari rumah. Anda bisa menghemat biaya untuk sewa kantor, membayar resepsionis, membayar pajak, izin usaha, dan lain-lain. Jangan berasumsi kalau bisnis rumahan hanya kacangan. Banyak bisnis raksasa dimulai dari rumah: Amazon.com, Microsoft, Xeroc, The Body Shop, Martha Tilaar.

Rahasia #3: Jangan masukkan semua telur dalam satu keranjang

Anda mungkin sudah bekerja sebagai karyawan, saat memutuskan untuk berwirausaha. Mundur dari pekerjaan saat mengawali usaha dari nol mungkin kurang bijaksana. Anda kehilangan sumber penghasilan, sementara usaha Anda belum memberikan hasil yang nyata. Karena itu, pertahankan pekerjaan sembari Anda memulai usaha, Mulailah bisnis paruh waktu. Bila kemudian usaha Anda tampak berkembang, Anda boleh melepaskan pekerjaan sebagai karyawan.

Rahasia #4: Lihat kebutuhan pasar

Ini adalah aturan utama bisnis. Anda harus menawarkan jasa yang dibutuhkan oleh banyak orang dan mereka bersedia membayarnya. Membuat usaha jasa memotong rumput dan pohon, bagus, tetapi jika Anda berada di tengah kota di mana banyak rumah tanpa halaman, siapa yang akan memakai jasa Anda? Karena itu, lakukan riset pasar. Saat ini ada banyak usaha jasa yang bisa dilakukan. Anda suka menulis? Buka jasa penulisan entah biografi, web content, ghostwriter, company profile, dan sebagainya. Suka menggambar dan desain? Bikin jasa desain iklan, website, cover buku, atau ilustrator. Bahkan suka omong pun bisa dijadikan ladang usaha. Jadi presenter, misalnya. Yang jelas, pastikan ada konsumen yang membutuhkan jasa Anda.

Anda telah mengetahui rahasianya. Jika Anda melakukannya, peluang sukses Anda akan jauh lebih besar. Selamat berusaha!



Oleh: Dessy Danarti

Penulis buku "Dari Hobi menjadi Hoki" (Penerbit Andi, 2005)

Sumber: www.beritanet.com

Pudarnya Pesona Cleopatra

Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalan kandungan aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal.” Ibunya Raihana adalah teman karib ibu waktu nyantri di pesantren Mangkuyudan Solo dulu”
kata ibu.

“Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan besanan untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon keikhlasanmu” , ucap beliau dengan nada mengiba.

Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi mentari pagi dihatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan diriku.

Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja dan tidak tahu alasannya. Yang jelas aku sudah punya kriteria dan impian tersendiri untuk calon istriku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai. Saat khitbah (lamaran) sekilas kutatap wajah Raihana, benar kata Aida adikku, ia memang baby face dan anggun.

Namun garis-garis kecantikan yang kuinginkan tak kutemukan sama sekali.
Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik, “cantiknya alami, bisa jadi bintang iklan Lux lho, asli ! kata tante Lia. Tapi penilaianku lain, mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita, dengan hidung melengkung indah, mata bulat bening khas arab, dan bibir yang merah. Di hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia.

Aku ingin memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku. Hari pernikahan datang. Duduk dipelaminan bagai mayat hidup, hati hampa tanpa cinta, Pestapun meriah dengan emapt group rebana. Lantunan shalawat Nabipun terasa menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari Allah SWT atas baktiku pada ibuku yang kucintai.
Rabbighfir li wa liwalidayya!

Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan cinta, hanya sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayatNya.
Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan kepura-puraanku. Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir kota Malang.

Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat bersama dengan makhluk yang bernama Raihana, istriku, tapi Masya Allah bibit cintaku belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya yang teduh tetap terasa asing. Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana mulai kurasakan, rasa ini muncul begitu saja. Aku mencoba membuang jauh-jauh rasa tidak baik ini, apalagi pada istri sendiri yang seharusnya kusayang dan kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain. Aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di ruang tamu atau ruang kerja.

Aku merasa hidupku ada lah sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia, pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia.

Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun merasakan hal yang sama, karena ia orang yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi kujawab ” tidak apa-apa koq mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus belajar berumah tangga” Ada kekagetan yang kutangkap diwajah Raihana ketika kupanggil ‘mbak’, ” kenapa mas memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa mas sudah tidak mencintaiku” tanyanya dengan guratan wajah yang sedih. “wallahu a’lam” jawabku sekenanya. Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam menunduk, tak lama kemudian dia terisak-isak sambil memeluk kakiku, “Kalau mas tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri kenapa mas ucapkan akad nikah?

Kalau dalam tingkahku melayani mas masih ada yang kurang berkenan, kenapa mas tidak bilang dan menegurnya, kenapa mas diam saja, aku harus bersikap bagaimana untuk membahagiakan mas, kumohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku didunia ini”. Raihana mengiba penuh pasrah. Aku menangis menitikan air mata buka karena Raihana tetapi karena kepatunganku. Hari terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak berjalan. Kami hidup seperti orang asing tetapi Raihana tetap melayaniku menyiapkan segalanya untukku.

Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai dirumah habis maghrib, bibirku pucat, perutku belum kemasukkan apa-apa kecuali segelas kopi buatan Raihana tadi pagi, Memang aku berangkat pagi karena ada janji dengan teman. Raihana memandangiku dengan khawatir. “Mas tidak apa-apa” tanyanya dengan perasaan kuatir. “Mas mandi dengan air panas saja, aku sedang menggodoknya, lima menit lagi mendidih” lanjutnya. Aku melepas semua pakaian yang basah. “Mas airnya sudah siap” kata Raihana. Aku tak bicara sepatah katapun, aku langsung ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana telah berdiri didepan pintu membawa handuk. “Mas aku buatkan wedang jahe” Aku diam saja. Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak bisa kutahan.

Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi dan Raihana mengejarku dan memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu. ” Mas masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati pakai apa, pakai balsam, minyak putih, atau jamu?” Tanya Raihana sambil menuntunku ke kamar. “Mas jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk membantu Mas”. ” Biasanya dikerokin” jawabku lirih. ” Kalau begitu kaos mas dilepas ya, biar Hana kerokin” sahut Raihana sambil tangannya melepas kaosku. Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana dengan sabar mengerokin punggungku dengan sentuhan tangannya yang halus. Setelah selesai dikerokin, Raihana membawakanku semangkok bubur kacang hijau. Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat Raihana duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur sambil menghafal Al Quran dengan khusyu. Aku kembali sedih dan ingin menangis, Raihana manis tapi tak semanis gadis-gadis mesir titisan Cleopatra.

Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku untuk makan malam di istananya.” Aku punya keponakan namanya Mona Zaki, nanti akan aku perkenalkan denganmu” kata Ratu Cleopatra. ” Dia memintaku untuk mencarikannya seorang pangeran, aku melihatmu cocok dan berniat memperkenalkannya denganmu”. Aku mempersiapkan segalanya. Tepat puku 07.00 aku datang ke istana, kulihat Mona Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu mempersilakan aku duduk di kursi yang berhias berlian.

Aku melangkah maju, belum sempat duduk, tiba-tiba ” Mas, bangun, sudah jam setengah empat, mas belum sholat Isya” kata Raihana membangunkanku. Aku terbangun dengan perasaan kecewa. ” Maafkan aku Mas, membuat Mas kurang suka, tetapi Mas belum sholat Isya” lirih Hana sambil melepas mukenanya, mungkin dia baru selesai sholat malam. Meskipun cuman mimpi tapi itu indah sekali, tapi sayang terputus. Aku jadi semakin tidak suka sama dia, dialah pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia bersalah, bukankah dia berbuat baik membangunkanku untuk sholat Isya.

Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku tidak tahu dari mana sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar terpenjara dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh cinta, entah kenapa bisa dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra.

” Mas, nanti sore ada acara qiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga akan datang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang bareng, tidak enak kalau kita yang dieluk-elukan keluarga tidak datang” Suara lembut Raihana menyadarkan pengembaraanku pada Jaman Ibnu Hazm. Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi onde-onde kesukaanku dan segelas wedang jahe.

Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja. ” Maaf..maaf jika mengganggu Mas, maafkan Hana,” lirihnya, lalu perlahan-lahan beranjak meninggalkan aku di ruang kerja. ” Mbak! Eh maaf, maksudku D..Din..Dinda Hana!, panggilku dengan suara parau tercekak dalam tenggorokan. ” Ya Mas!”
sahut Hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia bahagia dipanggil “dinda”. ” Matanya sedikit berbinar. “Te..terima kasih Di..dinda, kita berangkat bareng kesana, habis sholat dhuhur, insya Allah,” ucapku sambil menatap wajah Hana dengan senyum yang kupaksakan.

Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum bersinar dibibirnya. ” Terima kasih Mas, Ibu kita pasti senang, mau pakai baju yang mana Mas, biar dinda siapkan? Atau biar dinda saja yang memilihkan ya?”.
Hana begitu bahagia.

Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar mencurahkan bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku belum pernah melihatnya memasang wajah masam atau tidak suka padaku. Kalau wajah sedihnya ya. Tapi wajah tidak sukanya belum pernah. Bah, lelaki macam apa aku ini, kutukku pada diriku sendiri. Aku memaki-maki diriku sendiri atas sikap dinginku selama ini., Tapi, setetes embun cinta yang kuharapkan membasahi hatiku tak juga turun. Kecantikan aura titisan Cleopatra itu? Bagaimana aku mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang paling membenci diriku sendiri di dunia ini.

Acara pengajian dan qiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana membawa sejarah baru lembaran pernikahan kami. Benar dugaan Raihana, kami dielu-elukan keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh bangga. ”

Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling ideal dalam keluarga! Sambut Yu Imah disambut tepuk tangan bahagia mertua dan bundaku serta kerabat yang lain. Wajah Raihana cerah. Matanya berbinar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku menangis disebut pasangan ideal.

Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana lulusan terbaik dikampusnya dan hafal Al Quran lantas disebut ideal? Ideal bagiku adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa cinta yang sampai pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang tidak lagi memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang dari detik ke detik meneteskan rasa bahagia.

Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki Raihana.
Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di mata keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami yang dicintainya. Bahkan ia mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku sendiri dibuat pusing dengan sikapku. Lebih pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir tentang keturunan. ” Sudah satu tahun putra sulungku menikah, koq belum ada tanda-tandanya ya, padahal aku ingin sekali menimang cucu” kata ibuku. ” Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah kami. Bukankah begitu, Mas?” sahut Raihana sambil menyikut lenganku, aku tergagap dan mengangguk sekenanya.

Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana. Aku berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan. Jujur, aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku. Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai seorang istri. Raihana hamil. Ia semakin manis.

Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak kunjung tiba. Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera. Sejak itu aku semakin sedih sehingga Raihana yang sedang hamil tidak kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku bertanya” Mana tanggung jawabmu!” Aku hanya diam dan mendesah sedih. ” Entahlah, betapa sulit aku menemukan cinta” gumamku.

Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan ke enam. Raihana minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan alasan kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia kerumahnya. Karena rumah mertua jauh dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak menaruh curiga ketika aku harus tetap tinggal dikontrakan. Ketika aku pamitan, Raihana berpesan, ” Mas untuk menambah biaya kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh dibawah bantal, no.pinnya sama dengan tanggal pernikahan kita”.

Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari Aku tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa sebabnya bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan segalanya.
Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat kuliah di Mesir.

Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat aku pulang kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku benar-benar lemas. Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan perut mual. Saat itu terlintas dihati andaikan ada Raihana, dia pasti telah menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati masuk angin dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut. Malam itu aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku terbangun jam enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, aku belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa, andaikan ada Raihana tentu aku ngak meninggalkan sholat Isya, dan tidak terlambat sholat subuh.

Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus. Apalagi aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan mutu dosen mata kuliah bahasa arab. Diantaranya tutornya adalah professor bahasa arab dari Mesir. Aku jadi banyak berbincang dengan beliau tentang mesir. Dalam pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen bahasa arab dari Medan. Dia menempuh S1-nya di Mesir. Dia menceritakan satu pengalaman hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani. “Apakah kamu sudah menikah?” kata Pak Qalyubi. “Alhamdulillah, sudah” jawabku. ” Dengan orang mana?. ” Orang Jawa”. ” Pasti orang yang baik ya. Iya kan? Biasanya pulang dari Mesir banyak saudara yang menawarkan untuk menikah dengan perempuan shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?”. “Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran”. ” Kau sangat beruntung, tidak sepertiku”. ” Kenapa dengan Bapak?” ” Aku melakukan langkah yang salah, seandainya aku tidak menikah dengan orang Mesir itu, tentu batinku tidak merana seperti sekarang”. ” Bagaimana itu bisa terjadi?”. ”

Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik, dank arena terpesona dengan kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya begini, Saya seorang anak tunggal dari seorang yang kaya, saya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tua. Disana saya bersama kakak kelas namanya Fadhil, orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya waktu, tahun pertama saya lulus dengan predkat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi pelajar dari Indonesia.

Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan rumah tempat saya tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak gadisnya yang bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan pertama saya jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis secantuk itu. Saya bersumpah tidak akan menikaha dengan siapapun kecuali dia. Ternyata perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya didengar oleh Fadhil. Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan dengan anak tuan rumah itu atau sekalian lanjutkan dengan menikahinya. Saya memilih yang kedua.

Ketika saya menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan begini, sama-sama menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari mahasiswi Al Azhar yang hafal Al Quran, salehah, dan berjilbab. Itu lebih selamat dari pada dengan YAsmin yang awam pengetahuan agamanya. Tetpai saya tetap teguh untuk menikahinya. Dengan biaya yang tinggi saya berhasil menikahi YAsmin.
Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir.

Perabot rumah yang mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu selesai S1 saya kembali ke Medan, saya minta agar asset yang di Mesir dijual untuk modal di Indonesia. KAmi langsung membeli rumah yang cukup mewah di kota Medan. Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan baik, setiap tahunnya Yasmin mengajak ke Mesir menengok orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi semua yang diinginkan YAsmin. Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin nambah, anak kami yang ketiga lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah. Saya minta YAsmin untuk berhemat. Tidak setiap tahun tetapi tiga tahun sekali YAsmin tidak bisa.

Aku mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak terpenuhi.
Sawah terakhir milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri saya mulai muncul penyesalan. Setiap kali saya melihat teman-teman alumni Mesir yang hidup dengan tenang dan damai dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu dan bisa berdakwah dengan baik. Dicintai masyarakat. Saya tidak mendapatkan apa yang mereka dapatkan. Jika saya pengin rending, saya harus ke warung. YAsmin tidak mau tahu dengan masakan Indonesia.

Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya dengan namanya.
Jika ada sedikit letupan, maka rumah seperti neraka. Puncak penderitaan saya dimulai setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut, saya minta YAsmin untuk menjual perhiasannya, tetapi dia tidak mau. Dia malah membandingkan dirinya yang hidup serba kurang dengan sepupunya. Sepupunya mendapat suami orang Mesir.

Saya menyesal meletakkan kecantikan diatas segalanya. Saya telah diperbudak dengan kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang terjepit, ayah dan ibu mengalah. Mereka menjual rumah dan tanah, yang akhirnya mereka tinggal di ruko yang kecil dan sempit. Batin saya menangis. Mereka berharap modal itu cukup untuk merintis bisnis saya yang bangkrut. Bisnis saya mulai bangkit, Yasmin mulai berulah, dia mengajak ke Mesir. Waktu di Mesir itulah puncak tragedy yang menyakitkan. ” Aku menyesal menikah dengan orang Indonesia, aku minta kau ceraikan aku, aku tidak bisa bahagia kecuali dengan lelaki Mesir”.
Kata Yasmin yang bagaikan geledek menyambar. Lalu tanpa dosa dia bercerita bahwa tadi di KBRI dia bertemu dengan temannya. Teman lamanya itu sudah jadi bisnisman, dan istrinya sudah meninggal.

Yasmin diajak makan siang, dan dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku pukul dia karena tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu saya dilaporkan ke polisi. Yang menyakitkan adalah tak satupun keluarganya yang membelaku.
Rupanya selama ini Yasmin sering mengirim surat yang berisi berita bohong.
Sejak saat itu saya mengalami depresi. Dua bulan yang lalu saya mendapat surat cerai dari Mesir sekaligus mendapat salinan surat nikah Yasmin dengan temannya. Hati saya sangat sakit, ketika si sulung menggigau meminta ibunya pulang”.

Mendengar cerita Pak Qulyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan hidupnya menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya terbayang dimataku, tak terasa sudah dua bualn aku berpisah dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap dihati. Dia istri yang sangat shalehah. Tidak pernah meminta apapun. Bahkan yang keluar adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan Allah aku mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatiku belum terbuka lebar, tetapi wajah Raihana telah menyala didindingnya. Apa yang sedang dilakukan Raihana sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan bulan. Sebentar lagi melahirkan. Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin agar aku mencairkan tabungannya.

Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke took baju muslim, aku ingin membelikannya untuk Raihana, juga daster, dan pakaian bayi. Aku ingin memberikan kejutan, agar dia tersenyum menyambut kedatanganku. Aku tidak langsung ke rumah mertua, tetapi ke kontrakan untuk mengambil uang tabungan, yang disimpan dibawah bantal. Dibawah kasur itu kutemukan kertas Merah jambu. Hatiku berdesir, darahku terkesiap. Surat cinta siapa ini, rasanya aku belum pernah membuat surat cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini surat cinta istriku dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan istriku serong. Dengan rasa takut kubaca surat itu satu persatu. Dan Rabbi�?�ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati Raihana yang selama ini aku zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian mencintaiku, meredam rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia meratap melabuhkan dukanya. Dan ya .. Allah, ia tetap setia memanjatkan doa untuk kebaikan suaminya.
Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku.

“Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh dihadapan-Mu. Lakal hamdu ya Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al Quran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok kedalam jurang kenistaan. Ya Rabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam diri hamba” tulis Raihana.

Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa” Ya Allah inilah hamba-Mu yang kerdil penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintumu, melabuhkan derita jiwa ini kehadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil penuh derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami hamba tak mempedulikanku dan menelantarkanku. Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya. Masih kurang apa kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku padanya? Ya Allah, jika memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada suamiku.

Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia karena kelalaiannya.
Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta hamba masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk tetap berbakti dan memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha Tahu bahwa hamba sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau”.

Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang luar biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan Raihana terbayang. Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, tanganya yang halus bersimpuh memeluk kakiku, semuanya terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta. Dalam keharuan terasa ada angina sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika itu pesona Cleopatra telah memudar berganti cinta Raihana yang datang di hati. Rasa sayang dan cinta pada Raihan tiba-tiba begitu kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat-kilat dimata. Aku tiba-tiba begitu merindukannya. Segera kukejar waktu untuk membagi Cintaku dengan Raihana.

Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku yang menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris tangisku meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap air mataku. Melihat kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis tersedu- sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis. ” Mana Raihana Bu?”. Ibu mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus bertanya apa sebenarnya yang telah terjadi.

” Raihanaï…istrimu. .istrimu dan anakmu yang dikandungnya” . ” Ada apa dengan dia”. ” Dia telah tiada”. ” Ibu berkata apa!”. ” Istrimu telah meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat. Sebelum meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan dan kekhilafannya selama menyertaimu.

Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta maaf telah dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau meridhionya” .
Hatiku bergetar hebat. ” kenapa ibu tidak memberi kabar padaku?”. ”

Ketika Raihana dibawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang untuk menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada. Dihubungi ke kampus katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan agar kami tidak mengganggu ketenanganmu selama pelatihan. Dan ketika Raihana meninggal kami sangat sedih, Jadi Maafkanlah kami”.

Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku merasakan cinta Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus dosaku, dia telah meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya dia telah tiada. Dia telah meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan padaku untuk sekedar minta maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah menghukumku dengan penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira.

Ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang masih baru dikuburan pinggir desa. Diatas gundukan itu ada dua buah batu nisan. Nama dan hari wafat Raihana tertulis disana. Aku tak kuat menahan rasa cinta, haru, rindu dan penyesalan yang luar biasa. Aku ingin Raihana hidup kembali. Dunia tiba-tiba gelap semua ……..

Sumber :
Buku : Pudarnya Pesona Cleopatra ( Novel Psikologi Islam Pembangun Jiwa )
Karangan : Habiburrahman El Shirazy ( Penulis Novel best seller Ayat-ayat cinta)

Bila Aku Jatuh Cinta

Allahu Rabbi aku minta izin
Bila suatu saat aku jatuh cinta
Jangan biarkan cinta untuk-Mu berkurang
Hingga membuat lalai akan adanya Engkau

Allahu Rabbi
Aku punya pinta
Bila suatu saat aku jatuh cinta
Penuhilah hatiku dengan bilangan cinta-Mu yang tak terbatas
Biar rasaku pada-Mu tetap utuh

Allahu Rabbi
Izinkanlah bila suatu saat aku jatuh cinta
Pilihkan untukku seseorang yang hatinya penuh dengan
kasih-Mu
dan membuatku semakin mengagumi-Mu

Allahu Rabbi
Bila suatu saat aku jatuh hati
Pertemukanlah kami
Berilah kami kesempatan untuk lebih mendekati cinta-Mu

Allahu Rabbi
Pintaku terakhir adalah seandainya kujatuh hati
Jangan pernah Kau palingkan wajah-Mu dariku
Anugerahkanlah aku cinta-Mu...
Cinta yang tak pernah pupus oleh waktu

Amin !

Cerpen : Ketika Mas Gagah Pergi

Karya: Helvy Tiana Rosa

Mas Gagah berubah!
Ya, sudah beberapa bulan belakangan ini Masku, sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah !
Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di Teknik Sipil UI semester tujuh. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja… ganteng! Mas Gagah juga sudah mampu membiayai kuliahnnya sendiri dari hasil mengajar privat untuk anak-anak SMA.
Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku kemana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji.
Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak untukku.Saat memasuki usia dewasa kami jadi makin dekat. Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau sekedar bercanda bersama teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuat lelucon-lelucon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak-bahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan dulu di restoran, atau bergembira ria di Dufan, Ancol.
Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya !

“Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih ?”
“Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang serumahku sering membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho ! Gila, berabe khan ?”
“Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku ?”

Dan masih banyak lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku cuma mesam-mesem. Bangga.
Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum punya pacar. Apa jawabnya ?

“Mas belum minat tuh ! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran…, banyak anggaran. Banyak juga yang patah hati ! He…he…he..” kata Mas Gagah pura-pura serius.

Mas Gagah dalam pandanganku adalah sosok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tapi tak pernah meninggalkan sholat !

Itulah Mas Gagah!

Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah ! Drastis ! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang kubanggakan kini entah kemana…

–=oOo=–

“Mas Gagah ! Mas Gagaaaaaahhh!” teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras.

Tak ada jawaban. Padahal kata mama Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa arab gundul. Tak bisa kubaca. Tapi aku bisa membaca artinya : Jangan masuk sebelum memberi salam!

“Assalaamu’alaikuuum!” seruku.

Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah.

“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?” tanyanya.
“Matiin kasetnya !” kataku sewot.
“Lho emang kenapa ?”
“Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah ! Memangnya kita orang Arab… , masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!” aku cemberut.
“Ini nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita !”
“Bodo !”
“Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh dong Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri,” kata Mas Gagah sabar. “Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek…, mama bingung. Jadinya ya, di pasang di kamar.”
“Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru…, eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!”
“Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…”
“Pokoknya kedengaran!”
“Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus, lho !”
“Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!” aku ngloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah.

Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Kemana kaset-kaset Scorpion, Wham!, Elton John, Queen, Bon Jovi, Dewa, Jamrood atau Giginya?

“Wah, ini nggak seperti itu, Gita ! Dengerin Scorpion atau si Eric Clapton itu belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lain lah ya dengan senandung nasyid Islami. Gita mau denger ? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok !” begitu kata Mas Gagah.

Oalaa !

–=oOo=–

Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma ‘adik kecil’nya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung untuk mencernanya.
Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Sholat tepat waktu, berjama’ah di Masjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip di lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau baca buku Islam.
Dan kalau aku mampir di kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya,”Ayo dong Gita, lebih feminin. Kalau kamu pakai rok atau baju panjang, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba Dik manis, ngapain sih rambut ditrondolin gitu !”

Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga nggak pernah keberatan kalau aku meminjam kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu sering memanggilku Gito, bukan Gita ! Eh, sekarang pakai manggil Dik Manis segala!
Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering juga mama menegurnya.

“Penampilanmu kok sekarang lain, Gah?’
“Lain gimana, Ma ?”
“Ya, nggak semodis dulu. Nggak dandy lagi. Biasanya kamu yang paling sibuk dengan penampilan kamu yang kayak cover boy itu…”
Mas Gagah cuma senyum. “Suka begini, Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun.”
Ya, dalam penglihatanku Mas Gagah jadi lebih kuno dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjang semi baggy-nya. “Jadi mirip Pak Gino,” komentarku menyamakannya dengan sopir kami. “Untung saja masih lebih ganteng.”
Mas Gagah cuma terawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu.

Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga sangat kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama atau becanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah, kebingungan.
Dan…yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan!! Kupikir apa sih maunya Mas Gagah?

“Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau salaman sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di Sanggar Gita tahu?” tegurku suatu hari. “Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang !”
“Justru karena Mas menghargai dia makanya Mas begitu,” dalihnya, lagi-lagi dengan nada amat sabar. “Gita lihat khan orang Sunda salaman? Santun meski nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!”
Huh. Nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu…, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya?
Mas Gagah membawa sebuah buku dan menyorongkannya padaku. “Baca!”
Kubaca keras-keras. “Dari ‘Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah. Rasulullah saw tidak pernah berjabat tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhari Muslim!”
Si Mas tersenyum.
“Tapi Kyai Anwar mau salaman sama mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali…,” kataku.
“Bukankah Rasulullah uswatun hasanah? Teladan terbaik?” kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku. “Coba untuk mengerti ya, Dik Manis !?”

Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel. Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik ! Aku jadi khawatir. Apa dia lagi nuntut ‘ilmu putih’? Ah, aku juga takut kalau dia terbawa oleh orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun…, akhirnya aku nggak berani menduga demikian. Mas-ku itu orangnya cerdas sekali! Jenius malah! Umurnya baru dua puluh satu tahun tapi sudah tingkat empat di FTUI! Dan aku yakin mata batinnya jernih dan tajam. Hanya…, yaaa akhir-akhir ini ia berubah. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam.

–=oOo=–

“Mau kemana, Git!?”
“Nonton sama teman-teman.” Kataku sambil mengenakan sepatu. “Habis Mas Gagah kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya!”
“Ikut Mas aja, yuk!”
“Kemana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah! Gita kayak orang bego di sana!”

Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu yang lalu Mas Gagah mengajakku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tabligh akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku dilihatin sama cewek-cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya, aku kesana memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang nggak bisa aku sembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut.

“Assalaamu’alaikum!” terdengar suara beberapa lelaki.

Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman si Mas ini. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku…, persis kelakuannya Mas Gagah.

“Lewat aja nih, Mas? Gita nggak dikenalin?” tanyaku iseng.

Dulu nggak ada deh teman Mas Gagah yang tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome!

Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. “Ssssttt !”

Seperti biasa, aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal ke-Islaman, diskusi, belajar baca Al-Quran atau bahasa Arab…, yaaa begitu deh!!

–=oOo=–

“Subhanallah, berarti kakak kamu ikhwan dong!” seru Tika setengah histeris mendengar ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah sebulan ini berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya.
“Ikhwan?” ulangku. “Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?” suaraku yang keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.
“Huss! Untuk laki-laki ikhwan, untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara seiman kita,” ujar Tika sambil menghirup es kelapa mudanya. “Kamu tahu Hendra atau Isa, kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini.”
Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.
“Udah deh, Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji! Insya Allah kamu akan tahu meyeluruh tentang dien kita. Orang-orang seperti Hendra, Isa, atau Mas Gagah bukanlah orang-orang yang error. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Kitanya saja yang mungkin belum mengerti dan sering salah paham.”
Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku menjelma begitu dewasa.
“Eh, kapan main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat, Gita…, meski kita kini punya pandangan yang berbeda,” ujar Tika tiba-tiba.
“Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah…,” kataku jujur. “Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih…”
Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin. “Aku senang kamu mau membicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk. Biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan pada Mbak Ana.”
“Mbak Ana ?”
“Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amrik malah pakai jilbab! Itulah hidayah!”
“Hidayah ?”
“Nginap, ya! Kita ngobrol sampai malam sama Mbak Ana!”

–=oOo=–

“Assalaamu’alaikum, Mas Ikhwan…, eh Mas Gagah !” tegurku ramah.
“Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!” kata Mas Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku.
“Dari rumah Tika, teman sekolah,” jawabku pendek. “Lagi ngapain, Mas?” tanyaku sambil mengintari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, ganbar-gambar pejuang Palestina, Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu dua rak koleksi buku ke-Islaman..
“Cuman lagi baca !”
“Buku apa ?”
“Tumben kamu pengin tahu?”
“Tunjukin dong, Mas…buku apa sih?” desakku.
“Eit…, Eiiit !” Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya.
Kugelitik kakinya, dia tertawa dan menyerah. “Nih!” serunya memperlihatkan buku yang sedang dibacanya dengan wajah setengah memerah.
“Nah yaaaa!” aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku ‘Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam’ itu..
“Maaaas…”
“Apa Dik manis?”
“Gita akhwat bukan sih?”
“Memangnya kenapa ?”
“Gita akhwat apa bukan ? Ayo jawab…,” tanyaku manja.

Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara kepadaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami ummatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu jadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal lainnya. Dan untuk petamakalinya setelah sekian lama, aku merasa kembali menemukan Mas Gagahku yang dulu.
Mas Gagah dengan semangat terus berbicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikkan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya!!

“Mas kok nangis?”
“Mas sedih karena Allah, Rasul dan Al Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena ummat yang banyak meninggalkan Al-Quran dan Sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara seiman di Belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan, dan tidur beratap langit…”
Sesaat kami terdiam. Ah, Masku yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli…
“Kok…tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?” tanya Mas Gagah tiba-tiba.
“Gita capek marahan sama Mas Gagah !” Ujarku sekenanya.
“Emangnya Gita ngerti yang Mas katakan?”
“Tenang aja, Gita nyambung kok!” kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah menerangkan hal demikian. Aku ngerti deh meski nggak mendalam.

Malam itu aku tidur ditemani tumpukan buku-buku Islam milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat hidayah!

–=oOo=–

Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi sepeti dulu. Meski aktivitas yang kami lakukan berbeda dengan yang dahulu.
Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum. Atau ke tempat-tempat tabligh Akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah, kadang-kadang bila sedikit kupaksa Mama Papa juga ikut.
“Masa sekali aja nggak bisa, Pa…, tiap minggu rutin ngunjungin relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?” tegurku.
Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, “Iya deh, iya!”
Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung juga. Soalnya pengantinnya nggak bersanding tapi terpisah! Tempat acaranya juga gitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu dibagikan risalah nikah juga. Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran, harus Islami dan semacamnya. Ia juga wanti-wanti agar aku tak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek!
Aku nyengir kuda.
Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku. Soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.
“Nyoba pakai jilbab, Git !” pinta Mas Gagah suatu ketika.
“Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol! Lagian belum mau deh jreng!”
Mas Gagah tersenyum. “Gita lebih anggun kalau pakai jilbab dan lebih dicintai Allah. Kayak Mama”.
Memang sudah beberapa hari ini mama berjilbab. Gara-garanya dinasehatin terus sama si Mas, di beliin buku-buku tentang wanita, juga dikomporin sama teman-teman pengajian beliau.
“Gita mau, tapi nggak sekarang…,” kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku kini, prospek masa depan (ceila) dan semacamnya.
“Itu bukan halangan.” Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu kok cepat sekali terpengaruh sama Mas Gagah!
“Ini hidayah, Gita!” kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum.
“Hidayah? Perasaan Gita duluan deh yang dapat hidayah baru Mama! Gita pakai rok aja udah hidayah!”
“Lho?” Mas Gagah bengong.

–=oOo=–

Dengan penuh kebanggaan, kutatap lekat wajah Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam acara Studi Tentang Islam yang diadakan FTUI untuk umum ini, Mas Gagah menjadi salah satu pembicaranya! Aku yang berada di antara ratusan peserta ini rasa-rasanya ingin berteriak, “Hei, itu kan Mas Gagah-ku !”
Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa! Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayat Al-Quran dan Hadits Rasul. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung lho, kok Mas Gagah bisa sih? Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yamh dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar!
Pada kesempatan itu juga Mas Gagah berbicara tentang muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi.
“Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana taqwa, sebagai identitas muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam sendiri,” kata Mas Gagah.
Mas Gagah terus bicara. Tiap katanya kucatat di hati ini.

–=oOo=–

Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan berulang kali mengucap hamdalah.
Aku mau ngasih kejutan buat Mas Gagah! Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapan tasyakuran ultah ketujuh belasku.
Kubayangkan ia akan terkejut gembira, memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberikan ceramah pada acara tasyakuran yang insya Allah mengundang teman-teman dan anak-anak panti yatim piatu dekat rumah kami.

“Mas Ikhwan!! Mas Gagaaaaah! Maaasss! Assalaamu’alaikum!” kuketuk pintu kamar Mas Gagah dengan riang.
“Mas Gagah belum pulang,” kata Mama.
“Yaaaaa, kemana sih, Ma??!” keluhku.
“Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus…”
“Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di Masjid.”
“Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah inget ada janji sama Gita hari ini,” hibur mama menepis gelisahku.
Kugaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali dengan Mas Gagah.
“Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh !” Mama tertawa.
Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama.

–=oOo=–

Sudah lepas Isya. Mas Gagah belum pulang juga.
“Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh…” hibur Mama lagi.
Tetapi detik demi detik, menit demi menit berlalu. Sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga.
“Nginap barangkali, Ma?” duga Papa.
Mama menggeleng. “Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa!”
Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera pulang dan melihatku memakainya.

“Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinggg !!” Telpon berdering.

Papa mengangkat telepon. “Halo, ya betul. Apa? Gagah???”
“Ada apa , Pa?” tanya Mama cemas.
“Gagah…, kecelakaan…, Rumah Sakit… Islam…,” suara Papa lemah.
“Mas Gagaaaaaahhh!!!” Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.

Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah.

–=oOo=–

Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Tangan, kaki, kepalanya penuh perban. Informasi yang kudengar, sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai Mas Gagah. Dua teman Mas Gagah tewas seketika, sedang kondisi Mas Gagah kritis.
Dokter melarang kami untuk masuk ke dalam ruangan.
“Tapi saya Gita, adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau lihat saya pakai jilbab iniii!” kataku emosi pada dokter dan suster di depanku.
Mama dengan lebih tenang merangkulku, “Sabar, Sayang…, sabar.”
Di pojok ruangan papa tampak serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram.
“Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?” tanyaku. “Papa, Mas Gagah bisa ceramah pada syukuran Gita kan?” air mataku terus mengalir.
Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding putih rumah sakit. Dan dari kamar kaca kulihat tubuh yang biasa gagah enerjik itu bahkan tak bergerak!
“Mas Gagah, sembuh ya, Mas…, Mas…Gagah…, Gita udah jadi adik Mas yang manis. Mas… Gagah…,” bisikku.

Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit.. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah…, Gita, Mama dan Papa butuh Mas Gagah…, umat juga.”
Tak lama dokter Joko yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. “Ia sudah sadar dan memanggil nama ibu, bapak, dan Gi…”
“Gita..” suaraku serak menahan tangis.
“Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya seperti permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan saya…, lukanya terlalu parah,” perkataan terakhir dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!
“Mas…, ini Gita, Mas…,” sapaku berbisik.
Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.
Kudekatkan wajahku kepadanya. “Gita sudah pakai.. jilbab,” lirihku. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya.
Tubuh Mas Gagah bergerak lagi.
“Dzikir…, Mas,’ suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat wajah Mas Gagah yang separuhnya tertutup perban. Wajah itu begitu tenang…
“Gi…ta…”
Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali!
“Gita di sini, Mas…”
Perlahan kelopak matamya terbuka. Aku tersenyum.
“Gita… udah pakai… jilbab…,” kutahan isakku.
Memandangku lembut, Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdalah.
“Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas…,” ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.

Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah…, sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali!
Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan Mas Gagah tampaknya menginginkan kami semua berkumpul.
Kian lama kurasakan tubuh Mas Gagah semakin pucat. Tapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia juga masih bisa mendengar apa yang kami katakan meski hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata.

Kuusap setitik lagi airmata yang jatuh. “Sebut nama Allah banyak-banyak…, Mas,” kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Gagah terus hidup. Tapi sebagai insan beriman, seperti juga yang diajarkan Mas Gagah, aku pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas Gagah.
“Laa…ilaaha…illa…llah…, Muham…mad…Ra…sul…Al…lah…,” suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk kami dengar.
Mas Gagah telah kembali pada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya.
Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kami rela dia pergi.

Selamat jalan, Mas Gagah !

–=oOo=–

(Epilog)

Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi,
Semoga memperoleh umur yang berkah,
Dan jadilah muslimah sejati
Agar Allah selalu besertamu.
Sun Sayang,

Mas Ikhwan, eh Mas Gagah !

Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku.

Gamis dan jilbab hijau muda, manis sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.
Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu panggilan dik manis, Aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam Ilahi yang selamanya tiada kudengar lagi. Hanya wajah para Mujahid di dinding kamar yang menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema di ruang ini…

Setitik air mataku jatuh lagi.

“Mas, Gita akhwat bukan sih?”
“Ya, Insya Allah akhwat!”
“Yang bener?”
“Iya, dik manis!”
“Kalau ikhwan itu harus ada jenggotnya, ya?!”
“Kok nanya gitu?”
“Lha, Mas Gagah ada jenggotnya!”
“Ganteng kan?”

“Uuu! Eh, Mas, kita kudu jihad, ya? Jihad itu apa sih?”
“Ya always dong ! Jihad itu… “

Setetes, dua tetes, air mataku kian menganak sungai.
Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan.
Selamat jalan, Mas Ikhwan! Selamat jalan, Mas Gagah!

HTR, Depok, 1993